Perlawanan Rakyat Maluku Ke VOC atau Perlawanan Pattimura – Ketika Inggris masih berkuasa di Indonesia, Raffles berusaha menadakan perubahan dan salah sarunya ialah pembebasan penduduk atas segala macam bentuk paksaan, misalnya mengurangi kerja paksa.
Perlawanan Rakyat Maluku Ke VOC atau Perlawanan Pattimura
Tetapi, saat Belanda mulai masuk ke wilayah Maluku dan berhasil merebut benteng Portugis yang ada di Ambon, kerja paksa mulai dijalankan kembali. Penduduk dibebani banyak jenis pajak. Di samping itu, penerapan monopoli menggunakan sistem Pelayaran Hongi membuat rakyat menderita.
Oleh sebab itu, muncul perlawanan rakyat Maluku pada tahun 1635 yang berlangsung di bawah pimpinan Kakiali Kapten Hitu kepada pemerintahan kolonial Belanda atau VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Kongsi Dagang Hindia Belanda.
Perlawanan Rakyat Maluku Ke VOC (Perlawanan Pattimura)
Perlawanan tersebut dengan cepat menyebar ke berbagai daerah. Karena kedudukan VOC yang kian terancam, maka Gubernur Jenderal Van Diemen dari Batavia datang ke Maluku pada tahun 1637 dan 1638 guna memperkuat kekuasaan pemerintah kolonial.
Keberadaan belanda di Indonesia khususnya Maluku pada masa itu benar-benar membuat rakyat menderita. Banyak perbuatan Belanda yang sangat kejam pada masyarakat Maluku, di antaranya :
- Menerapkan sistem penyerahan wajib dari sebagian hasil bumi terutama rempah-rempah pada VOC (contingenten).
- Mengeluarkan perintah penebangan atau pemusnahan tanaman rempah-rempah apabila harga rempah-rempah menurun di pasaran (hak ekstirpasi) serta dilakukan penanaman kembali secara serentak jika harga rempah-rempah meningkat di pasaran.
- Belanda mengadakan patroli laut atau Pelayaran Hongi yang diusulkan oleh Friederick de Houtman yakni Gubernur Belanda pertama di Ambon. Pelayaran Hongi ialah sistem ronda yang dilaksanakan VOC yang bertujuan mencegah adanya perdagangan gelap serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan monopoli perdagangan di seluruh wilayah Maluku.
Sebab-Sebab Melakukan Perlawanan
Masuknya Belanda di wilayah Maluku mimbulkan keresahan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat setempat. Masyarakat masih belum bisa melupakan penderitaan yang dialaminya di zaman VOC pada saat pemerintahan kolonial Belanda menindas masyarakat Maluku.
Ketika itu, masyarakat Maluku diwajibkan untuk memberikan hasil panennya, misalnya kopi, dendeng dan ikan asin. Di samping itu, masyarakat pun dipaksa untuk kerja paksa untuk menebang kayu di hutan, membuat perkebunan pala dan membuat garam.
Alasan lainnya yang membuat masyarakat Maluku melancarkan perlawanan yaitu banyak pegawai pemerintah dan guru yang diberhentikan serta hanya kota-kota besar saja yang mempunyai sekolah. Alasan khusus atas kemarahan masyarakat Maluku yakni penolakan oleh Residen Van Den Berg pada tuntutan masyarakat mengenai pembayaran harga perahu yangterpisah menurut harga yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, meletuslah perlawanan masyarakat yang dikomandoi oleh pimpinan Kaikali Kapten Hitu pada Belanda.
Perlawanan oleh masyarakat itu segera meluas ke daerah-daerah lain sehingga kedudukan VOC terancam. Namun, Belanda berusaha mematahkan perlawanan masyarakat Maluku, seorang Belanda menjanjikan untuk memberikan hadiah yang besar untuk siapa pun yang bisa membunuh Kaikali.
Proses Perlawanan
Sesudah pimpinan Kaikali berhasil dubunuh oleh penghianat, Belanda untuk sementara berhasil mematahkan perlawanan masyarakat Maluku. Tetapi hal itu tidak lantas membuat masyarakat Maluku berdiam diri. Masyarakat Maluku kembali menlancarkan perlawanan yang dipimpin oleh pimpinan Telukabesi dan orang-orang Hitu. Perlawanan itu bisa dihentikan pada tahun 1646 oleh Belanda.
Kemudian, ada kembali perlawanan di Ambon pada tahun 1650 yang ada di bawah komando Saidi. Perlawanan itu serta merta menyebar ke wilayah lain misalnya Seram, Maluku dan Saparua. Lalu, perlawanan tersebut membuat Belanda menjadi terdesak serta meminta bantuan ke Batavia.
Bantuan yang diharapkan datang pada Juli 1655 di bawah komando Vlaming van Oasthoom yang kemudian meletuskan pertempuran di Howamohel. Sebagai akibatnya, pasukan masyarakat terdesak, Saidi ditangkap dan dijatuhi hukuman mati dan perlawanan masyarakat Maluku dipatahkan.
Di akhir abad 18 muncul lagi perlawanan masyarakat Maluku yang dipimpin Sultan Jamaluddin yang bisa segera dipatahkan juga dan Sultan Jamaluddin ditangkap lalu diasingkan ke Sri Langka. Kemudian, terjadi lagi perlawanan masyarakat Maluku, namun sama seperti sebelumnya yang akhirnya bisa diatasi lagi oleh Belanda.
Pada tahun 1817, masyarakat Saparua menggelar pertemuan serta bersepakat untuk menjadikan Thomas Matulesi atau Pattimura sebagai pemimpin perlawanan. Pemimpin lainnya yakni Said Perintah, Anthonie Rhebok, Ulupaha, thomas Pattiwael dan Lucas Latumahina. Ada pula tokoh bernama Christina Martha Tiahahu yang ikut serta dalam melawan pihak Belanda.
Pada malam hari 15 Mei 1827, masyarakat memulai pergerakan dengan membakar kapal-kapal Belanda yang berada di Pelabuhan Porto. Kemudian, Pattimura mulai mengepung benteng Duurstede serta berhasil menembak Residen Van Den Berg hingga mati. Esoknya, Pattimura bersama masyarakat berhasil merebut dan menduduki Benteng Duurstede.
Perlawanan Selanjutnya
Perlawanan meluas ke Haruku, Seram, Asilulu, Uring, Wakasihu dan Larike. Pemerintah Belanda yang terdesak kemudian mendatangkan bantuan ke Haruku dari Ambon serta bermarkas di benteng Zeelandia. Namun, Raja Haruku serta raja-raja lainnya sudah siap menghadapinya serta dikerahkan untuk melakukan serangan pada benteng itu.
Terjadi pertempuran sengit di Saparua yang menyebabkan pasukan Belanda tewas dalam jumlah banyak termasuk perwiranya. Kemudian, Pattimura yang ada di Saparua berhasil mebakar semangat para pejuang di wilayah lainnya.
Pada Juli 1817, Belanda mendatangkan bantuan ke Saparua guna merebut Benteng Duurstede tetapi gagal. Kemudian, Belanda mengajak pemimpin Maluku untuk berdisukusi tetapi tidak mendapatkan hasil melainkan menimbulkan pertempuran.
Pada akhir Juli 1817, Belanda dengan bala bantuannya menembakkan meriam ke Benteng Duurstede yang kala itu diduduki oleh pasukan Pattimura. Pada Agustus 1817, Belanda bisa merebut lagi Benteng Duurstede tetapi pertempuran belum berakhir.
Akhir Perlawanan
Pasukan Pattimura tidak lantas membiarkan hal itu terus terjadi dan meneruskan lagi perlawanan dengan cara gerilya. Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan pengumuman akan memberikan hadiah bagi siapa saja yang bisa menangkap Pattimura.
Namun, masyarakat Maluku enggan menghianati perjuangan bangsanya. Pemerintah Belanda tetap gigih dalam mengakhiri perang dalam waktu singkat. Pemerintah Belanda mengerahkan prajurit dalam jumlah besar dan Pattimura serta para pemimpin lain berhasil ditangkap oleh Belanda pada November 1817. Pada akhir Desember 1817 perlawanan masyarakat pun meredup dan Pattimura menerima hukuman gantung di Ambon.
Demikian penjelasan materi Perlawanan Rakyat Maluku Ke VOC atau Perlawanan Pattimura. Semoga penjelasan tersebut bisa dipahami dengan mudah serta menjadi suatu pengetahuan baru bagi para pembaca. Terima kasih 🙂