Cacing Pipih (Platyhelminthes) – Dalam konteks ini, Platyhelminthes atau yang lebih dikenal sebagai cacing pipih memiliki bentuk tubuh yang datar dari dorsal hingga ventral dan tidak bersegmen. Umumnya, cacing pipih dapat ditemukan hidup di sungai, danau, laut, atau bahkan sebagai parasit di dalam tubuh organisme lain. Mereka termasuk dalam golongan cacing yang sangat peka terhadap cahaya. Cacing pipih memiliki sifat-sifat khusus yang membuat mereka menarik perhatian para peneliti.
Pengertian Platyhelminthes (Cacing Pipih)
Platyhelminthes, yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “platy” yang berarti pipih dan “helminthes” yang berarti cacing, sesuai dengan namanya, memiliki tubuh yang pipih dorsoventral. Kelompok cacing ini juga dapat diklasifikasikan sebagai hewan triploblastik karena memiliki tiga lapisan jaringan, yaitu ektodermis (lapisan luar), mesodermis (lapisan tengah), dan endodermis (lapisan dalam).
Cacing pipih, atau Platyhelminthes, memiliki sistem pencernaan yang berupa rongga gastrovaskuler, ekskresi dilakukan dengan sel api, sistem saraf tangga tali, dan dapat bereproduksi secara generatif maupun vegetatif. Platyhelminthes menjadi objek studi menarik bagi ilmuwan karena sifat-sifat khususnya yang unik dan peranannya dalam ekosistem.
Ciri-Ciri Platyhelminthes
Platyhelminthes terbagi menjadi yang bersifat parasit dan yang hidup bebas di perairan. Kelompok cacing ini tidak memiliki sistem peredaran darah dan bernafas melalui seluruh permukaan tubuh. Bentuk tubuh Platyhelminthes cenderung pipih, tanpa memiliki rongga tubuh (selom), dan sistem pencernaannya tidak sempurna. Kehadiran Platyhelminthes dalam ekosistem memiliki peran yang beragam, dari menjadi bagian dari rantai makanan hingga menjadi penyebab penyakit pada organisme lain.
a) Morfologi (Struktur tubuh) platyhelminthes
Tubuh Platyhelminthes memanjang pipih dorsoventral tanpa segmentasi atau ruas-ruas. Struktur tubuhnya dapat dibagi menjadi bagian anterior (bagian depan, atau kepala), posterior (bagian belakang, atau ekor), dorsal (daerah punggung), ventral (daerah yang berlawanan dengan dorsal), dan lateral (samping tubuh). Platyhelminthes memiliki simetri bilateral dan tersusun atas tiga lapisan, yaitu sebagai berikut:
- Ektoderma (lapisan luar)
Dalam tahap perkembangan selanjutnya, ektoderma akan menghasilkan epidermis dan kutikula. Epidermis ini bersifat lunak dan bersilia, berperan dalam gerakan tubuh. Kadang-kadang, epidermis ditutupi oleh kutikula dan sebagian dilengkapi dengan alat untuk menempel pada inang. Beberapa di antaranya berupa alat kait yang terbuat dari kitin. - Mesoderma (lapisan tengah)
Pada tahap perkembangan berikutnya, mesoderm akan membentuk alat reproduksi, jaringan otot, dan jaringan ikat. - Endoderma (lapisan dalam)
Dalam tahap perkembangan selanjutnya, endoderma akan membentuk gastrodermis atau gastrovaskuler sebagai saluran pencernaan makanan.
b)Fisiologi (Sistem organ) platyhelminthes
Sistem organ |
Keterangan |
Sistem pencernaan | Saluran pencernaan pada hewan ini tidak sempurna, yaitu berupa gastrovaskuler yang terletak di tengah tubuh dan berperan sebagai usus. Akan tetapi, ada juga platyhelminthes yang tidak memiliki saluran pencernaan. |
Sistem ekskresi | Sistem ekskresinya bersifat sederhana dan terutama berfungsi untuk memelihara keseimbangan osomosis antara hewan dengan lingkungannya. Yang mana Sistem ini tersusun dari sel-sel bersilia, yaitu sel api atau sel-sel bulu getar (solenosit). |
Sistem saraf | Sistem saraf terdiri dari dua ganglia otak yang dilengkapi dengan saraf-saraf tepi sehingga membentuk sistem saraf tangga tali |
Sistem reproduksi | Pada umumnya hewan ini bersifat hermafrodit. Artinya, pada satu tubuh terdapat alat kelamin jantan dan betina, namun jarang terjadi pembuahan sendiri. Reproduksi terjadi secara generatif dan vegetatif. Reproduksi secara generatif dengan perkawinan silang dan berlangsung secara fertilisasi internal. Reproduksi vegetatif dengan cara regenerasi, yaitu individu baru berasal dari bagian tubuh induknya. |
Struktur dan fungsi tubuh
Platyhelminthes merupakan organisme triploblastik aselomata karena memiliki tiga lapisan embrional, yaitu ektoderma, endoderma, dan mesoderma. Meskipun demikian, mesoderma pada cacing ini tidak mengalami spesialisasi sehingga sel-selnya tetap seragam dan tidak membentuk sel khusus.
Sistem Pencernaan
Cacing pipih memiliki sistem pencernaan yang disebut sistem gastrovaskuler, di mana makanan tidak disalurkan melalui darah tetapi melalui usus. Proses pencernaan dimulai dari mulut, faring, dan berlanjut ke kerongkongan. Usus cacing memiliki cabang yang tersebar ke seluruh tubuh untuk mendistribusikan nutrisi.
Selain mencerna makanan, cacing pipih juga membuang sisa-sisa makanan melalui mulut karena tidak memiliki anus. Sistem transpor makanan dalam tubuh cacing pipih dilakukan melalui sistem gastrovaskuler, sementara gas O2 dan CO2 diperoleh dan dibuang melalui proses difusi.
Sistem Saraf
Platyhelminthes memiliki berbagai macam sistem saraf, di antaranya adalah sistem saraf tangga tali yang merupakan sistem saraf paling sederhana. Pusat saraf, atau ganglion otak, terletak di bagian kepala dan terdiri dari sepasang ganglion. Dari ganglion otak ini, terdapat tali saraf yang menjalar di sepanjang tubuh dan dihubungkan oleh serabut saraf melintang.
Pada cacing pipih yang lebih maju, sistem saraf terdiri dari sel-sel saraf (neuron) yang terbagi menjadi sel sensori, sel motor, dan sel asosiasi. Organisme ini memiliki indra seperti oseli (bintik mata), kemoreseptor, aurikula (telinga), statosista (pengatur keseimbangan), dan reoreseptor (organ untuk mengetahui arah aliran sungai).
Osmoregulasi dan Reproduksi
Cacing pipih umumnya memiliki sistem osmoregulasi yang disebut protonefridia. Sistem ini terdiri dari saluran berpembuluh yang berakhir di sel-sel api. Cairan sisa metabolisme dikeluarkan melalui dinding sel melalui proses difusi.
Reproduksi pada cacing pipih dapat dilakukan secara aseksual dengan cara membelah diri atau secara seksual melalui perkawinan silang, meskipun kebanyakan dari mereka adalah hermafrodit.
Klasifikasi Cacing Pipih
- Kelas Turbellaria adalah kelompok cacing pipih yang menggunakan bulu getar sebagai alat geraknya, seperti yang terdapat pada Planaria.
- Kelas Trematoda memiliki alat hisap yang dilengkapi dengan kait untuk melekatkan diri pada inangnya, karena umumnya hidup sebagai parasit pada manusia dan hewan. Contohnya adalah Fasciola, yang dikenal sebagai “cacing hati”, Clonorchis, dan Schistosoma.
- Kelas Cestoda memiliki kulit yang dilapisi oleh kitin sehingga tidak terpengaruh oleh enzim dalam usus inang. Cacing-cacing ini biasanya menjadi parasit pada hewan. Contohnya adalah spesies cacing pita seperti Taenia solium dan Taenia Saginata, di mana mereka menggunakan struktur yang disebut skoleks untuk melekat pada usus inang dan bereproduksi dengan cara menghasilkan telur yang telah dibuahi yang berisi larva yang disebut onkosfer.
Manfaat atau dampak Platyhelminthes bagi kehidupan manusia
Karena sebagian besar Platyhelminthes hidup sebagai parasit, umumnya filum ini dapat merugikan manusia. Selain manusia, cacing pita juga dapat menjadi parasit pada inang seperti domba, babi, dan sapi. Di masa lampau, banyak orang dari Cina, Jepang, dan Korea menderita akibat penyakit parasit seperti clonorchis. Selain karena kurangnya perkembangan ilmu kesehatan, kebiasaan makan daging mentah atau setengah matang juga turut berperan.
Upaya untuk mencegah infeksi cacing pita pada manusia dan inang lainnya biasanya dilakukan dengan memutuskan siklus hidup cacing pita. Hal ini dapat dilakukan dengan mencegah inang perantara dari terinfeksi atau dengan mencegah inang utama dari terinfeksi. Selain itu, pengaturan pembuangan tinja manusia perlu dilakukan sesuai dengan standar kesehatan sehingga tidak ada telur cacing yang ikut terbuang dan tertelan oleh babi. Sementara itu, semua daging babi, sapi, dan ikan yang berpotensi mengandung cacing-pita harus dimasak dengan baik sebelum dikonsumsi oleh manusia.